JARIMATIKA

JARIMATIKA

Kamis, 10 September 2009

MENDIDIK ANAK LAKI - LAKI

Tulisan ini mungkin sekedar refleksi dari saya pribadi terhadap pengalaman berinteraksi dan melihat fakta, bahwa kebanyakan laki-laki dewasa ternyata kurang peduli dengan masalah-masalah domestik (rumah). Pekerjaan itu sepertinya dilimpahkan secara konvensional kepada kaum hawa, padahal saya sendiri merasa bahwa hal itu tidak proporsional dan sesungguhnya kurang baik untuk sebuah sinergi antar jender, terutama bagi pasangan yang sudah menikah.

Bukankah ketika suami sakit, dijamin bahwa mereka akan dirawat dengan baik dan keperluan akan makanan dan minuman khas orang sakit juga siap di meja. Nah, ketika istri sakit, apa yang terjadi? Pasti suami kelabakan. Membuat bubur nggak bisa, membuat teh manis nggak bisa, membuat sayur bening apa lagi, dan bahkan mengompres pun tak biasa. Lucunya, layanan seperti itu sudah sering ia dapatkan; namun karena tak biasa dilakukannya, pengetahuan yang kelihatan remeh itu seolah begitu rumitnya.

Pendidikan masa kecil saya anggap sebagai penyebab paradigma pembagian kerja yang absolut itu terbentuk pada diri seseorang. Betul bahwa anak laki-laki dan anak perempuan memiliki ciri biologis yang khas yang membuat masing-masing memiliki tanggung jawab yang khas pula. Akan tetapi, dalam pikiran saya pembagian yang khas itu hanyalah berlaku pada wilayah-wilayah tertentu, dan tidak selebar seperti yang hari ini saya saksikan.

Mencuci piring, mencuci baju, menyapu, mengepel, memasak air, atau menyuapi anak, memandikan anak, membersihkan kamar mandi; menyeduh teh, susu, kopi, dan banyak pekerjaan domestik lainnya kini masih didominasi kaum ibu. Para ayah dan anak laki-laki, tinggal siap menerima ruangan yang rapi, baju yang bersih dan rapi, secangkir teh di meja, kamar mandi yang nyaman, makanan siap santap, dan segudang hal hasil pekerjaan para ibu, anak, atau adik perempuannya.

Pemilahan pekerjaan domestik secara absolut memang sudah lazim. Laki-laki dan bahkan perempuan sendiri seolah sudah menerimanya sebagai sebuah kodrat alam yang tak perlu ditolak. Kelelahan luar biasa akibat pekerjaan domestik yang tak pernah ada habisnya itu pasti adakalanya membuat kaum perempuan mengeluh atau akhirnya 'terkapar' tanpa kata-kata. Namun nyatanya semua harus terus begitu dan begitu, sehingga perempuan pun akhirnya menerima hal itu sebagai takdir. Namun sungguhkah memang begitu seharusnya?

Satu hal yang menarik, ketika kini sudah banyak laki-laki dari kalangan terpelajar yang mulai memahami substansi perbedaan jender, dan menjadi peduli dengan kelelahan istri atau ibu mereka dalam mengurus rumah, banyak di antara mereka tak bisa membantu secara maksimal karena kebiasaan yang sudah terlanjur terbentuk di dalam keluarganya di masa kecil. Kasihan melihat istri berulang kali mencuci piring, namun banyak suami tak juga bergerak ketika tumpukan piring mulai menggunung, kecuali hanya bergumam, "Duh kasihan ya istriku..". Mau bagaimana lagi, kepeduliannya pada sang istri masih belum bisa mengalahkan ketidakbiasaan yang sudah bertahun-tahun terbentuk.

Meskipun tipikal anak laki-laki memang cenderung malas, seenaknya, dan atraktif, namun saya percaya, hal itu bukanlah alasan untuk membiarkan anak laki-laki bertindak semaunya dan melimpahkan pekerjaan pada ibu atau saudara perempuannya. Saya sendiri merasa bahwa sudah saatnya tradisi yang kurang proporsional itu diubah demi kebaikan anak-anak kita dan juga cara berpikir mereka setelah dewasa. Saya sendiri bertekad untuk mendidik anak laki-laki saya, tidak hanya kuat secara fisik, namun juga peduli pada pekerjaan rumah, sehingga kelak ia akan menjadi partner yang ideal bagi istrinya, ayah yang penuh teladan bagi anak laki-lakinya, dan ayah yang menimbulkan rasa aman bagi anak perempuannya (Semoga ya...).

Bagaimana Prakteknya?
Libatkan anak laki-laki dalam berbagai pekerjaan domestik bersama-sama dengan saudara perempuannya; misalnya menyapu, merapikan mainan, memunguti sampah, mengelap meja yang basah, menyimpan gelas di dapur setelah dipakai, dll. Meski awalnya hanya sebagai latihan dan bahkan permainan, namun hal itu sedikit demi sedikit akan membentuk persepsi anak laki-laki menjadi lebih terbuka terhadap pekerjaan tersebut.

Hal yang justru paling penting adalah keterlibatan ayah. Walau bagaimanapun anak-anak akan cenderung meniru kelakuan dan kebiasaan orang tuanya daripada mendengar perintah atau ceramah. Walaupun ibu berusaha agar anak laki-lakinya terbiasa dengan pekerjaan domestik, namun jika ayahnya terlihat selalu ongkang-ongkang kaki saat 'pelajaran' itu berlangsung, yakinlah anak akan lebih meniru ayahnya. Pada akhirnya, kekompakan ayah dan ibu dalam mendidik anak adalah kunci suksesnya pendidikan itu sendiri.

Yang Juga Tak Boleh Dilupakan
Anak laki-laki memiliki ciri khas fisik yang cenderung jauh lebih kuat daripada anak perempuan. Namun saya banyak melihat, pendidikan dalam keluarga yang 'memanjakan' anak laki-laki dalam hal pekerjaan domestik bahkan sering melebar pada pekerjaan khas laki-laki itu sendiri. Akibatnya, banyak pula laki-laki dewasa, terutama di perkotaan, yang mungkin tak kenal apa itu palu, paku, obeng, tang, sendok tembok, gergaji, cangkul, sekop, memperbaiki genteng bocor, mengecat, mengganti pipa air, dll. Mungkin bisa saja pekerjaan-pekerjaan semacam itu diorderkan pada orang lain, tapi apa salahnya juga untuk sedikit lebih tahu, sehingga untuk kasus kran air yang lepas misalnya tak usahlah memanggil 'tukang'.

UNTUK BUNDA

Ibunda, Kenapa Engkau Menangis

Suatu ketika, ada seorang anak laki-laki yang bertanya kepada ibunya. "Ibu, mengapa Ibu menangis?". Ibunya menjawab, "Sebab, Ibu adalah seorang wanita, Nak". "Aku tak mengerti" kata si anak lagi. Ibunya hanya tersenyum dan memeluknya erat. "Nak, kamu memang tak akan pernah mengerti...."

Kemudian, anak itu bertanya pada ayahnya. "Ayah, mengapa Ibu menangis? Sepertinya Ibu menangis tanpa ada sebab yang jelas?"Sang ayah menjawab, "Semua wanita memang menangis tanpa ada alasan". Hanya itu jawaban yang bisa diberikan ayahnya.
Lama kemudian, si anak itu tumbuh menjadi remaja dan tetap bertanya-tanya, mengapa wanita menangis.

Pada suatu malam, ia bermimpi dan bertanya kepada Tuhan."Ya Allah, mengapa wanita mudah sekali menangis?"Dalam mimpinya, Tuhan menjawab,"Saat Kuciptakan wanita, Aku membuatnya menjadi sangat utama.Kuciptakan bahunya, agar mampu menahan seluruh beban dunia dan isinya, walaupun juga, bahu itu harus cukup nyaman danlembut untuk menahan kepala bayi yang sedang tertidur.

Kuberikan wanita kekuatan untuk dapat melahirkan, danmengeluarkan bayi dari rahimnya, walau, seringkali pula, ia kerap berulangkali menerima cerca dari anaknya itu.

Kuberikan keperkasaan, yang akan membuatnya tetap bertahan, pantang menyerah, saat semua orang sudah putus asa.

Pada wanita, Kuberikan kesabaran, untuk merawat keluarganya, walau letih, walau sakit, walau lelah, tanpa berkeluh kesah.

Kuberikan wanita, perasaan peka dan kasih sayang, untuk mencintai semua anaknya, dalam kondisi apapun, dan dalam situasi apapun. Walau, tak jarang anak-anaknya itu melukai perasaannya, melukai hatinya. Perasaan ini pula yang akan memberikan kehangatan pada
bayi-bayi yang terkantuk menahan lelap. Sentuhan inilah yang akan memberikan kenyamanan saat didekap dengan lembut olehnya.

Kuberikan wanita kekuatan untuk membimbing suaminya, melalui masa-masa sulit, dan enjadi pelindung baginya. Sebab, bukankah tulang rusuklah yang melindungi setiap hati dan
jantung agar tak terkoyak?Kuberikan kepadanya kebijaksanaan, dan kemampuan untuk
memberikan pengertian dan menyadarkan, bahwa suami yang baik adalah yang tak pernah melukai istrinya. Walau, seringkali pula, kebijaksanaan itu akan menguji setiap kesetiaan yang
diberikan kepada suami, agar tetap berdiri, sejajar, saling melengkapi, dan saling menyayangi.

Dan, akhirnya, Kuberikan ia air mata agar dapat mencurahkanperasaannya. Inilah yang khusus Kuberikan kepada wanita, agar dapat digunakan kapanpun ia inginkan. Hanya inilah kelemahan yang dimiliki wanita, walaupun sebenarnya, air mata ini adalah air mata kehidupan".

Maka, dekatkanlah diri kita pada sang Ibu kalau beliau masih hidup

Selasa, 25 Agustus 2009

Buku Baru Jarimatika











Apakah rahasia Jarimatika sehingga berkembang menjadi metode berhitung dengan jari yang sangat banyak pemakaianya dan tersebar ke seluruh Indonesia? Selain mudah, menyenangkan, dan tidak menuntut anak untuk menghafal, rahasia tersebarnya ada pada kemampuan metodenya untuk mengajak siapa pun mengembangkan dan menciptakan metode-metode baru dalam proses berhitung.
Metode dalam buku ini merupakan contohnya. Metode alternatif ini akan semakin memudahkan siapa pun dalam menyelesaikan proses berhitung. Terlebih bila sudah masuk ke angka yang lebih besar. Buku ini merupakan tambahan cara agar kita kaya metode dalam Jarimatika. Ternyata dalam berhitung ada banyak cara untuk mendapatkan hasil. Kita bebas bereksperimen dengan bilangan-bilangan itu. Ini bukti bahwa Jarimatika menghargai setiap inovasi, bukan semata-mata menjadikan matematika mudah dan menyenangkan, tetapi menjadikan kita smart and fun dalam bermain angka dan bilangan.